***Bukan tentang seberapa besar cinta itu, tapi seberapa besar qt untuk cinta itu!!
=  Saat itu saya harus menyaksikan sesuatu yang mungkin saja tampak miris,  ato tahlah tergantung siapa saja yang memandang peristiwa itu dari  sudut berbeda = Harapan saya, pandanglah sesuatu yg terjadi melalui  kacamata keBijakan hingga hadir keBajikan atasnya :)
Sehari2nya  saya melihat "sebut saja X" dengan segala atributnya. Tampak tiada  perbedaan dengan wanita2 lainnya. Punya keluarga yang harmonis dan pacar  yang baik. Itulah dalam pandangan saya. Hingga di suatu saat saya harus  melihat sedikit ketimpangan, yang dari sudut pandang saya tak dapat  diterima logika. Secara fisik, sang pacar "sebut saja dy Y" beberapa  kali membuat sakit X. Bahkan secara psikis menginjak2 harga diri X dan  keluarganya **setidaknya itulah yg saya tangkap. Bagaimana tidak??  Ketika emosi sang pacar tak terkontrol, dy mulai saja menjelek2kan  keluarga X. Namun anehnya Y masih bisa tersenyum manis didepan keluarga  X, seolah tak terjadi apa2. Selalu dan selalu X memaafkan perbuatan Y,  dan senantiasa percaya bahwa suatu saat kelak Y akan berubah. Lalu X  berusaha untuk slalu tulus mencintai Y.
Saya bisa menerima  pengakuan X. Namun terkadang juga tak habis pikir dengan kompleksitas  pemikiran X. Maaf, tidak bermaksud menghakimi ato apapun itu. Saya  pernah berdialog dengan X seperti ini :
W : Teruslah berdoa yang  terbaik, memohon pada ALLAH SWT. Sholatlah, berdoalah untuk kelembutan  hatinya karena ALLAH SWT adalah Sang Maha Pembolak-balik hati.
 X : “tersenyum…
W : ??
X  : Tarlah… Q tuh pengen ada yang ngajakin sholat… kayak dulu si ***  (teman prianya yg lain, sebelum serius dgn si Y) ngajakin q sholat. Nah q  tuh pengen kayak gitu..
W : Klo gitu, sekarang posisinya d balik. Gmn??
X : Ah tahla.. (sambil mengalihkan percakapan)
**Maaf,  saya tidak mengatakan saya sempurna dengan kereligiusan saya. Tapi  jujur,, ketika saya merasa lemah atau apapun itu. Hanya ALLAH SWT saja  tempat saya berlari dan mengadu. Saya bisa menangis seharian sambil  meringkuk ditempat tidur setelah sholat sambil menyembunyikan wajah  dibalik bantal lalu berdoa hingga lelah dan terlelap. Atas dasar itulah  saya mengatakan hal diatas.
Hari berganti dan waktu terus  bergulir. Kejadian yang sama tidak sekali dua kali saya saksikan. Hingga  suatu waktu X mendatangi saya sambil menangis.
X : Ajari saya sholat “pintanya
W : “terkejut lalu tersenyum.. Ayo, mari qt berjamaah, sekalian saya jg mw Dzuhuran.
Hari  itu kami sholat berjamaah dengan cukup hikmat. X menangis dlm  sholatnya, dan saya memegang tangannya, mencoba menyalurkan kekuatan yg  saya miliki. Semua itu berjalan lancar diwaktu2 berikutnya, kami  berjamaah. Namun disuatu sore saat saya pulang kuliah, saya tidak  menemukan X dirumahnya. Ibunya bilang, Dia sedang jalan bersama Y. saya  hanya tersenyum dan berharap semua berakhir bahagia, dan X tetap tidak  melupakan sholatnya dimanapun dan kapanpun.
Malam harinya X  menjumpai saya dalam keadaan senang. X bercerita bahwa dy bahagia karna  habis berbelanja dengan Y. Syukurlah bathin saya. Dan sepertinya dia  baik2 saja. Dan karena hari itu saya terlalu sibuk mengurusi diri saya  dengan urusan kuliah, saya melupakan bertanya apakah dy sholat atau  tidak. Tapi setelah hari itu, saya tak menemui X kembali yang meminta  saya menemaninya sholat. Saya menjadi cemas dan mencari tau. Tapi  syukurlah karna saat itu saya mendapati bahwa X sedang belajar  mendirikan sholat secara mandiri. Waktu terus berlalu, dan semua masih  tampak wajar. Hingga hari itu tiba. Hari dimana X mendatangi saya  kembali sambil menangis. Saya bertanya atas apa yang terjadi. Dan X  bercerita lirih, bahwa X dipaksa Y meninggalkan sholat saat bersama Y,  SubhanaALLAH. Selain itu, saya mesti melihat beberapa luka lain yang  seharusnya tidak terjadi pada hubungan mereka. **maaf luka disini, tidak  sampai bercucuran darah atau apapun itu. Hanya ada sedikit lebam dan  luka psikis yg pasti. Jujur saja saat itu saya marah, tapi kemarahan  saya mesti tetap terkontrol. Karena kalau tidak, bisa2 saya salah  memposisikan diri. Lalu saya mencoba menenangkan dan menyemangatinya.  Saya marah bukan karna saya sahabat X, saya marah sebagai seorang  wanita, sesama wanita lebih tepatnya. Saya merasa lirih..lirih…dan  lirih…
W : Qm harus kuat X. Kadang semua tampak berat pada awalnya, tapi percayalah qm mampu lalui ini.
X : (masih dengan tangisnya) Q gak kuat W, maaf..
Saya  tertegun, sambil terus menyemangatinya. Menguatkannya dan  menenangkannya (maaf, saya hanya berusaha berempati saja. Jujur, saya  tidak tau bagaimana perasaannya. Sungguh, hanya X dan ALLAH SWT aja yang  tau pasti bagaimana perasaan X. “”maaf, awalnya ketika saya memulai dan  mencoba bersikap dewasa, saya sempat sombong bahwa saya tau perasaan  orang lain, lalu dengan rasa yg agak sombong pula menasehati seseorang.  Tapi seiring waktu, dan disaat saya benar2 merasa bermasalah dihati dan  mencoba bercerita dengan beberapa sahabat. Sesempurna2nya empati sahabat  saya, tetap saja mereka tidak mampu menggambarkan 100% apa yang saya  rasakan. Namun saya tau mereka berusaha berempati. Belajar dari  pengalaman2 saya sendiri, akhirnya saya berusaha menerapkan pada diri  saya ketika harus menjadi pendengar yang baik bagi seseorang.
Masih  dengan tangisnya, akhirnya saya mencari topic lain yang mampu buat  kebersamaan kami terasa menyenangkan. Bercerita tentang hal2 konyol atau  apapun itu “”maaf, mungkin saja saya pada saat itu tak tampak seserius  sekarang. Pada masa itu, saya masih cukup cuek dengan banyak masalah,  cuali yg benar2 urgent bagi saya. Istilahnya saya selalu membuang  masalah2 saya kekotak sampah terjauh dan hanya berharap waktu yang  membakarnya. Saya tidak lakukan apapun terhadap masalah itu. Namun kini,  ketika saya bermasalah, maka masalah itu akan saya tuliskan disebuah  kertas. Lalu saya tulis solusi terbaik dengan berbagai pertimbangan dan  mengambil hikmahnya sebagai pembelajaran. Sebelum akhirnya saya membuang  kertas itu kekotak sampah terjauh, dan biarkan waktu membakarnya.
Waktu  demi waktu bergulir, dan X mulai benar2 melupakan sholatnya. Dan saya  menjadi seorang saudari yang hanya mampu mendoakan saja. Hingga pagi itu  saya pergi kuliah. Dan siang harinya saya pulang dengan hati yang agak  gaduh karena ada sedikit masalah dengan skripsi saya. Capek banget  rasanya siang itu, dan saat memasuki kamar saya langsung merebahkan diri  dikasur lalu tertidur. Tak berapa lama hape saya berbunyi, 1 pesan  masuk. Saya membukanya dan terkejut “Mbak,, coba liat Mbak X.. Tolong  Mbak, Mbak X sdg butuh pertolongan..
Saya bingung, apa  yang harus saya tolong? Bukankah X tampak tidak apa2, bahkan X sedang  pergi bersama Y. Hingga tak lama kemudian Z menemui saya dikamar, dan  bertanya bagaimana keadaan X. Saya bingung dan katakan bahwa X tidak  apa2. Lalu Z bercerita panjang lebar ttg kejadian yang baru saja X dan Z  alami. X kembali dipukuli oleh Y didepan mata Z. X berlari dan memasuki  kamar saya, mengunci diri didalam kamar saya dan Y mengejar X hingga  mendobrak pintu kamar saya. Astaga, saking capeknya saya.. sampai gak  sadar kalau kunci dikamar saya sebenarnya rusak hasil dari dobrakan itu.  Saya benar2 marah, bukan karna apa2.. Tapi saya merasa bahwa Y benar2  tidak mampu menghargai privasi saya. (maaf, saya belum cerita bahwa saya  ngeKost dirumah keluarga X, karena itulah saya dekat dengan X dan  menjadi tempat curhat plus bersenang2 ala mahasiswa gokil. Yes Oke,  memang kamar itu bagian dari rumah keluarga X, tapi selama saya ngekost  dan membayar kewajiban saya atas kamar itu. maka sepenuhnya kamar itu  hak saya) saya benar2 marah pada saat itu, dan jujur saja saya berniat  melabrak Y.
Besok paginya Y berkunjung kerumah X dan  dengan senyumnya seolah2 tak terjadi masalah apapun. Saya yang saat itu  sedang ada keperluan untuk keluar rumah, berpapasan dengan Y. Seperti  biasa Y tersenyum dengan ringannya,, tapi maaf kali ini Y tidak  mendapatkan lagi senyum ramah saya. Saya hanya tersenyum sinis, dan  ternyata Y merasakannya lalu bertanya dengan X. X menjelaskan duduk  permasalahannya, saya marah karna pintu kunci kamar saya yg rusak. Namun  anehnya, Y malah mengancam X jika sampai X cerita bahwa Y yang  melakukan perusakan itu dan semua awal dari kejadian perusakan kunci  itu. Siang harinya ketika saya pulang kekost, saya masih mendapati Y  disana. Lalu dengan cueknya saya menuju kamar, dan beberapa menit  kemudian dengan mantap akan melabrak Y (saya benar2 emosi!). Namun,  sebelum itu saya bertanya dengan X bermaksud menghargai dirinya, meminta  izin karna kemarahan saya sudah tak terbendung dan sudah seharusnya  diluapkan. Pria seperti Y harus mendapatkan ketegasan, itulah dalam  pikiran saya. Tapi ternyata, X memohon agar saya tidak melabrak Y, karna  jika tidak, Y akan semakin kejam terhadap X bila saya tetap keukeh  melabrak Y. SubhanaALLAH, saya harus meredam emosi saya demi X. Dan  untuk hilangkan itu, saya memilih kembali kekamar dan tidur. Sebulan  setelah kejadian itu, saya keluar dari kost’an tersebut, karna memang  saya sendiri sudah menyelesaikan kuliah saya, dan saatnya pulang  kampung.
X sering berkata bahwa Cintanya tulus terhadap Y,  begitupun dengan Y terhadap X. Ya mereka saling mencinta, itulah inti  dari kata2 mereka “hmmm… saya jadi berpikir ttg kata itu”. Ada kalanya Y  begitu lurus menyuruh X untuk sholat,, tapi lebih sering menyuruh X  tinggalkan sholat. Y terlalu takut kehilangan X, dan terlalu sering  melampiaskan dengan emosi. Sedang X sikapnya terkadang terkesan terlalu  bagaimana githu, tak mau melepaskan diri ato apapun itu. Saya pun tak  terlalu bisa menjelaskan bagaimana antara keduanya, karna sesungguhnya  kembali seperti yg sebelumnya saya katakan bahwa hanya ALLAH SWT saja yg  tau *bukankah slalu ada alasan dibalik setiap keputusan??*. Saya hanya  bisa lakukan apa yang bisa saya lakukan. Penguatan dan mengingatkan,  tidak lebih. Berdoapun,, ketika ingat saya mendoakannya, tapi jujur saya  juga memiliki kehidupan sendiri yang saya bawa dalam doa saya.  SubhanaALLAH, mohon ampun pada ALLAH SWT dan saya tidak berharap kita  bernegative thingking ria, dan lebih bijak memandang sesuatu. **Memoryan  in Jogja 2008 – 2010
Jadi ingat suatu ungkapan d Sang  Pemimpi movie “Bukan tentang seberapa besar mimpi itu, tapi seberapa  besar qt untuk mimpi itu”. Mencopy ungkapan ini maka “Bukan tentang  seberapa besar cinta itu, tapi seberapa besar qt untuk cinta itu”. Hmmm…  Sudah bijakkah qt sesungguhnya menyikapi kata2 yg satu ini??