Jumat, 13 Januari 2012

Seberapa Besar Qt Untuk Cinta Itu??!!

***Bukan tentang seberapa besar cinta itu, tapi seberapa besar qt untuk cinta itu!!

= Saat itu saya harus menyaksikan sesuatu yang mungkin saja tampak miris, ato tahlah tergantung siapa saja yang memandang peristiwa itu dari sudut berbeda = Harapan saya, pandanglah sesuatu yg terjadi melalui kacamata keBijakan hingga hadir keBajikan atasnya :)

Sehari2nya saya melihat "sebut saja X" dengan segala atributnya. Tampak tiada perbedaan dengan wanita2 lainnya. Punya keluarga yang harmonis dan pacar yang baik. Itulah dalam pandangan saya. Hingga di suatu saat saya harus melihat sedikit ketimpangan, yang dari sudut pandang saya tak dapat diterima logika. Secara fisik, sang pacar "sebut saja dy Y" beberapa kali membuat sakit X. Bahkan secara psikis menginjak2 harga diri X dan keluarganya **setidaknya itulah yg saya tangkap. Bagaimana tidak?? Ketika emosi sang pacar tak terkontrol, dy mulai saja menjelek2kan keluarga X. Namun anehnya Y masih bisa tersenyum manis didepan keluarga X, seolah tak terjadi apa2. Selalu dan selalu X memaafkan perbuatan Y, dan senantiasa percaya bahwa suatu saat kelak Y akan berubah. Lalu X berusaha untuk slalu tulus mencintai Y.

Saya bisa menerima pengakuan X. Namun terkadang juga tak habis pikir dengan kompleksitas pemikiran X. Maaf, tidak bermaksud menghakimi ato apapun itu. Saya pernah berdialog dengan X seperti ini :
W : Teruslah berdoa yang terbaik, memohon pada ALLAH SWT. Sholatlah, berdoalah untuk kelembutan hatinya karena ALLAH SWT adalah Sang Maha Pembolak-balik hati.
 X : “tersenyum…
W : ??
X : Tarlah… Q tuh pengen ada yang ngajakin sholat… kayak dulu si *** (teman prianya yg lain, sebelum serius dgn si Y) ngajakin q sholat. Nah q tuh pengen kayak gitu..
W : Klo gitu, sekarang posisinya d balik. Gmn??
X : Ah tahla.. (sambil mengalihkan percakapan)
**Maaf, saya tidak mengatakan saya sempurna dengan kereligiusan saya. Tapi jujur,, ketika saya merasa lemah atau apapun itu. Hanya ALLAH SWT saja tempat saya berlari dan mengadu. Saya bisa menangis seharian sambil meringkuk ditempat tidur setelah sholat sambil menyembunyikan wajah dibalik bantal lalu berdoa hingga lelah dan terlelap. Atas dasar itulah saya mengatakan hal diatas.

Hari berganti dan waktu terus bergulir. Kejadian yang sama tidak sekali dua kali saya saksikan. Hingga suatu waktu X mendatangi saya sambil menangis.
X : Ajari saya sholat “pintanya
W : “terkejut lalu tersenyum.. Ayo, mari qt berjamaah, sekalian saya jg mw Dzuhuran.
Hari itu kami sholat berjamaah dengan cukup hikmat. X menangis dlm sholatnya, dan saya memegang tangannya, mencoba menyalurkan kekuatan yg saya miliki. Semua itu berjalan lancar diwaktu2 berikutnya, kami berjamaah. Namun disuatu sore saat saya pulang kuliah, saya tidak menemukan X dirumahnya. Ibunya bilang, Dia sedang jalan bersama Y. saya hanya tersenyum dan berharap semua berakhir bahagia, dan X tetap tidak melupakan sholatnya dimanapun dan kapanpun.

Malam harinya X menjumpai saya dalam keadaan senang. X bercerita bahwa dy bahagia karna habis berbelanja dengan Y. Syukurlah bathin saya. Dan sepertinya dia baik2 saja. Dan karena hari itu saya terlalu sibuk mengurusi diri saya dengan urusan kuliah, saya melupakan bertanya apakah dy sholat atau tidak. Tapi setelah hari itu, saya tak menemui X kembali yang meminta saya menemaninya sholat. Saya menjadi cemas dan mencari tau. Tapi syukurlah karna saat itu saya mendapati bahwa X sedang belajar mendirikan sholat secara mandiri. Waktu terus berlalu, dan semua masih tampak wajar. Hingga hari itu tiba. Hari dimana X mendatangi saya kembali sambil menangis. Saya bertanya atas apa yang terjadi. Dan X bercerita lirih, bahwa X dipaksa Y meninggalkan sholat saat bersama Y, SubhanaALLAH. Selain itu, saya mesti melihat beberapa luka lain yang seharusnya tidak terjadi pada hubungan mereka. **maaf luka disini, tidak sampai bercucuran darah atau apapun itu. Hanya ada sedikit lebam dan luka psikis yg pasti. Jujur saja saat itu saya marah, tapi kemarahan saya mesti tetap terkontrol. Karena kalau tidak, bisa2 saya salah memposisikan diri. Lalu saya mencoba menenangkan dan menyemangatinya. Saya marah bukan karna saya sahabat X, saya marah sebagai seorang wanita, sesama wanita lebih tepatnya. Saya merasa lirih..lirih…dan lirih…
W : Qm harus kuat X. Kadang semua tampak berat pada awalnya, tapi percayalah qm mampu lalui ini.
X : (masih dengan tangisnya) Q gak kuat W, maaf..

Saya tertegun, sambil terus menyemangatinya. Menguatkannya dan menenangkannya (maaf, saya hanya berusaha berempati saja. Jujur, saya tidak tau bagaimana perasaannya. Sungguh, hanya X dan ALLAH SWT aja yang tau pasti bagaimana perasaan X. “”maaf, awalnya ketika saya memulai dan mencoba bersikap dewasa, saya sempat sombong bahwa saya tau perasaan orang lain, lalu dengan rasa yg agak sombong pula menasehati seseorang. Tapi seiring waktu, dan disaat saya benar2 merasa bermasalah dihati dan mencoba bercerita dengan beberapa sahabat. Sesempurna2nya empati sahabat saya, tetap saja mereka tidak mampu menggambarkan 100% apa yang saya rasakan. Namun saya tau mereka berusaha berempati. Belajar dari pengalaman2 saya sendiri, akhirnya saya berusaha menerapkan pada diri saya ketika harus menjadi pendengar yang baik bagi seseorang.

Masih dengan tangisnya, akhirnya saya mencari topic lain yang mampu buat kebersamaan kami terasa menyenangkan. Bercerita tentang hal2 konyol atau apapun itu “”maaf, mungkin saja saya pada saat itu tak tampak seserius sekarang. Pada masa itu, saya masih cukup cuek dengan banyak masalah, cuali yg benar2 urgent bagi saya. Istilahnya saya selalu membuang masalah2 saya kekotak sampah terjauh dan hanya berharap waktu yang membakarnya. Saya tidak lakukan apapun terhadap masalah itu. Namun kini, ketika saya bermasalah, maka masalah itu akan saya tuliskan disebuah kertas. Lalu saya tulis solusi terbaik dengan berbagai pertimbangan dan mengambil hikmahnya sebagai pembelajaran. Sebelum akhirnya saya membuang kertas itu kekotak sampah terjauh, dan biarkan waktu membakarnya.

Waktu demi waktu bergulir, dan X mulai benar2 melupakan sholatnya. Dan saya menjadi seorang saudari yang hanya mampu mendoakan saja. Hingga pagi itu saya pergi kuliah. Dan siang harinya saya pulang dengan hati yang agak gaduh karena ada sedikit masalah dengan skripsi saya. Capek banget rasanya siang itu, dan saat memasuki kamar saya langsung merebahkan diri dikasur lalu tertidur. Tak berapa lama hape saya berbunyi, 1 pesan masuk. Saya membukanya dan terkejut “Mbak,, coba liat Mbak X.. Tolong Mbak, Mbak X sdg butuh pertolongan..

Saya bingung, apa yang harus saya tolong? Bukankah X tampak tidak apa2, bahkan X sedang pergi bersama Y. Hingga tak lama kemudian Z menemui saya dikamar, dan bertanya bagaimana keadaan X. Saya bingung dan katakan bahwa X tidak apa2. Lalu Z bercerita panjang lebar ttg kejadian yang baru saja X dan Z alami. X kembali dipukuli oleh Y didepan mata Z. X berlari dan memasuki kamar saya, mengunci diri didalam kamar saya dan Y mengejar X hingga mendobrak pintu kamar saya. Astaga, saking capeknya saya.. sampai gak sadar kalau kunci dikamar saya sebenarnya rusak hasil dari dobrakan itu. Saya benar2 marah, bukan karna apa2.. Tapi saya merasa bahwa Y benar2 tidak mampu menghargai privasi saya. (maaf, saya belum cerita bahwa saya ngeKost dirumah keluarga X, karena itulah saya dekat dengan X dan menjadi tempat curhat plus bersenang2 ala mahasiswa gokil. Yes Oke, memang kamar itu bagian dari rumah keluarga X, tapi selama saya ngekost dan membayar kewajiban saya atas kamar itu. maka sepenuhnya kamar itu hak saya) saya benar2 marah pada saat itu, dan jujur saja saya berniat melabrak Y.

Besok paginya Y berkunjung kerumah X dan dengan senyumnya seolah2 tak terjadi masalah apapun. Saya yang saat itu sedang ada keperluan untuk keluar rumah, berpapasan dengan Y. Seperti biasa Y tersenyum dengan ringannya,, tapi maaf kali ini Y tidak mendapatkan lagi senyum ramah saya. Saya hanya tersenyum sinis, dan ternyata Y merasakannya lalu bertanya dengan X. X menjelaskan duduk permasalahannya, saya marah karna pintu kunci kamar saya yg rusak. Namun anehnya, Y malah mengancam X jika sampai X cerita bahwa Y yang melakukan perusakan itu dan semua awal dari kejadian perusakan kunci itu. Siang harinya ketika saya pulang kekost, saya masih mendapati Y disana. Lalu dengan cueknya saya menuju kamar, dan beberapa menit kemudian dengan mantap akan melabrak Y (saya benar2 emosi!). Namun, sebelum itu saya bertanya dengan X bermaksud menghargai dirinya, meminta izin karna kemarahan saya sudah tak terbendung dan sudah seharusnya diluapkan. Pria seperti Y harus mendapatkan ketegasan, itulah dalam pikiran saya. Tapi ternyata, X memohon agar saya tidak melabrak Y, karna jika tidak, Y akan semakin kejam terhadap X bila saya tetap keukeh melabrak Y. SubhanaALLAH, saya harus meredam emosi saya demi X. Dan untuk hilangkan itu, saya memilih kembali kekamar dan tidur. Sebulan setelah kejadian itu, saya keluar dari kost’an tersebut, karna memang saya sendiri sudah menyelesaikan kuliah saya, dan saatnya pulang kampung.

X sering berkata bahwa Cintanya tulus terhadap Y, begitupun dengan Y terhadap X. Ya mereka saling mencinta, itulah inti dari kata2 mereka “hmmm… saya jadi berpikir ttg kata itu”. Ada kalanya Y begitu lurus menyuruh X untuk sholat,, tapi lebih sering menyuruh X tinggalkan sholat. Y terlalu takut kehilangan X, dan terlalu sering melampiaskan dengan emosi. Sedang X sikapnya terkadang terkesan terlalu bagaimana githu, tak mau melepaskan diri ato apapun itu. Saya pun tak terlalu bisa menjelaskan bagaimana antara keduanya, karna sesungguhnya kembali seperti yg sebelumnya saya katakan bahwa hanya ALLAH SWT saja yg tau *bukankah slalu ada alasan dibalik setiap keputusan??*. Saya hanya bisa lakukan apa yang bisa saya lakukan. Penguatan dan mengingatkan, tidak lebih. Berdoapun,, ketika ingat saya mendoakannya, tapi jujur saya juga memiliki kehidupan sendiri yang saya bawa dalam doa saya. SubhanaALLAH, mohon ampun pada ALLAH SWT dan saya tidak berharap kita bernegative thingking ria, dan lebih bijak memandang sesuatu. **Memoryan in Jogja 2008 – 2010

Jadi ingat suatu ungkapan d Sang Pemimpi movie “Bukan tentang seberapa besar mimpi itu, tapi seberapa besar qt untuk mimpi itu”. Mencopy ungkapan ini maka “Bukan tentang seberapa besar cinta itu, tapi seberapa besar qt untuk cinta itu”. Hmmm… Sudah bijakkah qt sesungguhnya menyikapi kata2 yg satu ini??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar